this is my blog...my mind...and this is my opinion about what i feel...

this is my blog...my mind...and this is my opinion about what i feel...

25 April 2010

Pemborosan Keuangan Daerah

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD), salah satu indikator utama evaluasi kinerja pelaksana kebijakan daerah adalah baik buruknya pengelolaan keuangan daerah. Karena itu, proses penganggaran daerah, bukanlah sekedar aktifitas teknis untuk menghitung penerimaan dana, proses pengelolaan, maupun pembelanjaan anggaran. Namun lebih dari itu, kebijakan anggaran harus melibatkan aktivitas pencapaian efektivitas maupun efisiensi anggaran.
Efisiensi dalam perspektif umum anggaran daerah dimaknai sebagai upaya untuk menelaah tingkat kemampuan anggaran untuk menyediakan sumber daya bagi pelayanan publik, pembangunan pendidikan dan kesehatan, sekaligus memperkokoh infrastruktur ekonomi kerakyatan.
Di sini semakin urgen bagi suatu upaya sistematis reformasi keuangan daerah. Tujuan reformasi pengelolaan keuangan tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah, meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat dan partisipasi masyarakat secara aktif.
Namun reformasi keuangan daerah sejauh ini belum sepenuhnya dapat diwujudkan. Bahkan, APBD belum dapat dikelola secara efektif dan efisien, serta berorientasi pada pemenuhan kebutuhan publik dasar.
Beberapa masalah utama yang menyebabkan hal tersebut adalah:

1. Rendahnya Tingkat Partisipasi Publik
Di satu sisi, Pemerintah Daerah belum menemukan suatu metode yang dapat menjaring partisipasi publik secara efektif. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih mempunyai anggapan bahwa APBD adalah persoalan elit yang tidak perlu diketahui masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut, prinsip transparansi dalam pengelolaan APBD menjadi sebuah agenda yang harus terus dikembangkan guna membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat.

2. Kurang Berorientasi Pada Tujuan Jangka Panjang
Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk turut serta memberikan rangsangan (stimulus) dalam perekonomian apabila kondisi ekonomi sedang mengalami kelesuan. Hal ini dapat dilakukan apabila APBD dikelola secara benar. Akan tetapi, Pemerintah Daerah tampaknya kurang memahami hal tersebut. Terdapat banyak kasus dimana kebijakan Pemerintah Daerah tidak mempunyai tujuan menggerakkan perekonomian daerah. Misalnya dalam menentukan anggaran pembangunan, banyak proyek Pemerintah Daerah yang tidak memiliki dampak berantai (multiplier effect) bagi perekonomian. Di daerah miskin, pembangunan (fisik dan non-fisik) tidak berjalan dengan baik karena APBD defisit sehingga hanya cukup untuk membiayai anggaran rutin. Sebaliknya, di daerah kaya yang memiliki APBD surplus, juga menghadapi kesulitan menentukan prioritas pembangunan.
Pengelolaan APBD yang tidak efisien dapat dilihat dari dua sisi. Defisit APBD berdampak negatif bagi perekonomian daerah karena Pemerintah Daerah tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian.Di sisi lain, daerah yang mempunyai APBD surplus ternyata juga tidak mampu memberikan stimulus bagi perekonomian dengan APBD karena anggaran pembangunan tidak dikelola dengan efisien.

3. Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Hasil penelitian Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, 40-60 persen APBD terserap aksi korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrat, legislatif, dan aparat keamanan. Bahkan, daerah pengelolaan APBD lebih rawan akibat makin renggangnya pengawasan dari pusat maupun dari masyarakat.
Sumber BPK dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2005, terdapat 44 daerah dimana terdapat pendapatan, bagi hasil, dan dana bantuan pusat yang dikelola pemimpin daerah atau instansi di luar sistem APBD. Jumlahnya cukup besar, Rp. 3.03 triliun.
Temuan lainnya, terdapat pengendapan dana daerah senilai Rp. 214.75 miliar pada 60 Pemerintah Daerah.
Pada 77 Pemerintah Daerah juga terjadi pemborosan keuangan daerah Rp. 170.68 miliar. Pemborosan disebabkan belanja daerah yang digunakan untuk instansi vertikal, bantuan, honor, dan tunjangan kepada pimpinan dan anggota DPRD, pejabat negara, dan pejabat daerah. BPK juga menemukan 23 Pemerintah Daerah yang memiliki saham dan penyertaan modal pada bank dan perusahaan daerah senilai Rp. 1.17 triliun yang belum jelas status hukumnya serta tidak sesuai dengan perda.
Penguasaan aset daerah dan penyertaan modal pemerintah desa pada 23 Pemerintah Daerah senilai Rp. 2.83 triliun juga dinyatakan tidak dapat ditelusuri.
Sehingga dengan demikian masalah pemborosan dalam pengelolaan keuangan daerah terjadi hampir merata di setiap propinsi. Yang sepertinya juga turut ikut terjadi di Kabupaten Minahasa Utara. Tentunya ini memerlukan suatu kajian yang serius untuk dirumuskan bersama antara pemerintah pusat dan daerah....Torang tunggu!!!......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar