this is my blog...my mind...and this is my opinion about what i feel...

this is my blog...my mind...and this is my opinion about what i feel...

18 Agustus 2010

MENDUR BERSAUDARA PEJUANG BERSENJATAKAN KAMERA

(Terima kasih buat mas Kristupa Saragih yang ternyata bukan hanya mahir bersenjatakan kamera, tapi juga mahir bersenjatakan pena.
Tulisan dari mas Kristupa, membuat kami keturunan minahasa bangga sebab ada putra Minahasa yang turut hadir dalam kepingan puzzle sejarah proklamasi Tahun 1945)


Suatu pagi di bulan puasa, 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Soekarno. Alexius Impurung Mendur, abangnya yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur Bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Soekarno.

Kendati Jepang telah mengaku kalah pada Sekutu beberapa hari sebelumnya, kabar tersebut belum diketahui luas di Indonesia. Radio masih disegel Jepang dan bendera Hinomaru masih berkibar di mana-mana. Patroli tentara Jepang masih berkeliaran dan bersenjata lengkap. Dengan mengendap-endap, Mendur Bersaudara berhasil merapat ke rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta tatkala jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi.

Pukul 08.00 di saat Soekarno masih tidur di kediamannya lantaran gejala malaria. Soekarno juga masih lelah sepulang begadang merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dibangunkan dokternya untuk minum obat, Soekarno lantas tidur lagi dan bangun pukul 09.00. Di Jakarta, pukul 10.00 di hari Jumat pagi itu Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Upacara Proklamasi Kemerdekaan berlangsung sederhana, tanpa protokol. Hanya Mendur Bersaudara yang hadir sebagai fotografer pengabadi peristiwa bersejarah Indonesia.

Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa. Foto pertama, Soekarno membaca teks proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.

Usai upacara, Mendur Bersaudara bergegas meninggalkan kediaman Soekarno. Tentara Jepang memburu mereka. Alex Mendur tertangkap, tentara Jepang menyita foto-foto yang baru saja dibuat dan memusnahkannya. Adiknya, Frans Mendur berhasil meloloskan diri. Negatif foto dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.

Meski negatif foto selamat, perjuangan mencuci dan mencetak foto itupun tak mudah. Mendur Bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, panjat pohon dan lompati pagar di sampaing kantor Domei, yang sekarang kantor Antara. Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Resiko bagi Mendur Bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945. Tanpa foto karena telah disensor Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, fotografer-fotografer muda Indonesia bekas fotografer Domei di Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto di kantor berita Antara. Tanggal 1 Oktober 1945 BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka. Setahun setelah kepindahan ke harian Merdeka, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank “Nyong” Umbas, Alex Mamusung dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.

Koleksi foto IPPHOS pada kurun waktu 1945-1949 konon berjumlah 22.700 bingkai foto. Namun hanya 1 persen saja yang terpublikasikan. Foto-foto IPPHOS tak hanya dokumentasi pejabat-pejabat negara, melainkan juga rekaman otentik kehidupan masyarakat di masa itu.

Keluarga Mendur adalah putra daerah Kawangkoan, Minahasa, Sulawesi Utara. Alex Mendur lahir 1907, sementara adiknya Frans Mendur lahir tahun 1913. Frans belajar fotografi pada Alex yang sudah lebih dahulu menjadi wartawan Java Bode, koran berbahasa Belanda di Jakarta. Frans lantas mengikuti jejak abangnya menjadi wartawan pada tahun 1935.

Foto monumental lain karya Alex Mendur adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945, dan tapi sering dianggap terjadi di hotel Oranje, Surabaya. Foto monumental lain karya Frans Mendur adalah foto Soeharto yang menjemput Panglima Besar Jendral Soedirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.

Kala itu nama Mendur Bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing. Tapi Mendur Bersaudara dan IPPHOS tetap idealis untuk loyal kepada Indonesia. Padahal, secara etnis Minahasa, sebenarnya Mendur Bersaudara bisa saja dengan mudah merapat ke Belanda. IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur Bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing.

Semasa hidupnya, Frans Mendur pernah menjadi penjual rokok di Surabaya. Di RS Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971, fotografer pengabadi proklamasi kemerdekaan RI ini meninggal dalam sepi. Alex Mendur tutup usia pada tahun 1984 juga dalam keadaan serupa. Hingga tutup usia kakak-beradik Frans dan Alex Mendur tercatat belum pernah menerima penghargaan atas sumbangsih mereka pada negara ini. Konon, mereka berdua pun ditolak untuk dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.

Baru pada 9 November 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur, penghargaan Bintang Jasa Utama.

(Ditulis oleh KRISTUPA SARAGIH pada Kompasiana 17 Agustus 2010 Jam 04.07)

17 Agustus 2010

YOGYAKARTA

Bagi sebagian orang, Yogyakarta adalah tempat me-recharge diri dari kepenatan hidup. Rasanya, opini itu tidak salah. Yogya dengan budayanya, menawarkan keramahtamahan dan suasana adem yang membuat orang tentram. tapi tak hanya itu, Yogyakarta juga kuat dengan wisata alam,sejarah dan pendidikan.

Boleh dibilang Yogyakarta adalah tujuan utama wisatawan lokal kedua setelah Bali. Maklum saja, dalam rentang yang tak berjauhan, Yogyakarta memiliki banyak artefak wisata. Dua candi terkemuka, Prambanan dan Borobudur, meski berada di propinsi tetangga, masih dalam range jangkauan wisatawan Yogyakarta.

Yogyakarta juga menawarkan wisata alam yang komplet. Cuaca dingin pegunungan ataupun hembusan angin laut dapat dijangkau dengan jarak tak terlalu jauh. Di utara, 15 km dari Yogyakarta ada kota kecil nan sejuk, Kaliurang. Letaknya yang di lereng Gunung Merapi menjadikan kota ini selain sejuk, juga kerap menjadi pusat pemantauan para pemerhati gunung berapi.

Melaju ke selatan, sekitar 30 km dari kota Yogyakarta atau juga dilafalkan sebagai Yogya, berjajar pantai indah yang menghadap ke Laut Selatan. Di kabupaten Kulon Progo ada Pantai Glagah dan Pantai Trisik, di Kabupaten Bantul ada pantai terkenal Parangtritis, di Kabupaten Gunung Kidul ada Pantai Baron, Drini dan Krakal. Bagi yang menyukai senyap, pantai-pantai di wilayah Gunung kidul umumnya lebih sepi.

Kota Yogyakartanya sendiri tak kalah riuh untuk ditempati. Selain disini berdiri Keraton Kasultanan Ngayogyakarto, ada juga seruas jalan yang legendaris, yakni Malioboro, tempat dimana mayoritas wisatawan berbelanja souvenir. Dan jangan lupa, koleksi kuliner Yogyakarta pun tak terhitung. Mulai dari gudeg, bakpia atau ikan bakar. Pendek kata, Yogyakarta sesuai tagline-nya, Never Ending Asia.

Tak usah khawatir soal akomodasi dan penginapan. Pasalnya, hampir semua maskapai lokal memiliki jalur penerbangan ke Yogyakarta lebih dari 1 kali sehari. Yang mestinya harus diwaspadai justru adalah ketersediaan tiket dan akomodasi manakala musim liburan tiba. Jikalau waktu pemesanan Anda terlalu mepet, bersiaplah mencari alat transportasi atau akomodasi alternatif.
Yogyakarta juga adalah merupakan kota pusat studi di Indonesia. Dimana terdapat Universitas tertua di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada yang berdiri megah di kawasan bulaksumur,sleman. Selain terdapat ratusan perguruan tinggi negeri dan swasta lainnya.

16 Agustus 2010

MERAYAKAN KEMER(D)EKAAN / oleh PARI SUBAGYO

Inikah tujuan perjuangan kita? Inikah tujuan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 kita? Inikah tujuan UUD ’45 kita? Inikah visi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata, dengan pengorbanan nyawa jutaan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan kita?"

Rentetan pertanyaan itu mengawali pidato imajiner Soekarno bertajuk ”Ke Mana Indonesia Melangkah?” yang tersimpan di Youtube. Suaranya mirip sang proklamator, ditingkah retorika dan gairah bernyala-nyala. Pidato imajiner itu dikreasi sejumlah anak muda untuk merefleksi 64 tahun Indonesia Merdeka tahun lalu.

Terpancar kegelisahan, kekecewaan, kegeraman, sekaligus gugatan atas langkah negara-bangsa ini yang (semakin) tak tentu arah. Bertebaran kata ”kita”. Ini tidak lazim. Menurut temuan Hooker (1993), pidato-pidato Presiden Soekarno minim kata ”kita”. Presiden Soeharto-lah yang lebih suka menggunakan ”kita” karena motif partisipatif.
Ada apa dengan ”kita”? Apa yang sesungguhnya kita rayakan dalam ritual tujuh belasan?
Semiotika ”kita”

Tak semua bahasa memiliki kata ganti orang jamak sejenis ”kita” dan antonimnya ”mereka”. Namun, semua komunitas bahasa membedakan konsep ”kita” dan ”mereka”. Jadi, sesungguhnya manusia memiliki bawah sadar untuk berpikir inklusif-eksklusif. ”Kita” mewakili paradigma insklusif, sedangkan ”mereka” mewakili nalar eksklusif. ”Kita” merepresentasikan kebersamaan, sedangkan ”mereka” menunjukkan keterpisahan.

”Kita” dan ”mereka” sama-sama berunsur ”aku” (ego). Dalam ”kita”, setiap ”aku” rela melebur diri sebagai ”kita” yang satu, inklusif, solider, tanpa kehilangan hakikatnya sebagai ”aku” individual. Dalam konteks membangun Indonesia sebagai ”kita”, ikrar Soempah Pemoeda, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan lagu ”Satu Nusa Satu Bangsa” hanyalah sebagian dari banyak wacana obsesif tentang ke-kita-an Indonesia.

Namun, dalam ”mereka”, masing-masing ego enggan melebur diri menjadi ”kita” inklusif. Setiap ”aku” bersikukuh dan memahami ”aku lain” sebagai ”dia”. Ke-kita-an sebatas ”kita” eksklusif—yakni ”kami”—yang angkuh, soliter, saling mengasingkan, terpisah, dan terkucil karena digerakkan motif-motif primordial dan ego yang bebal. Akhirnya justru terbangun ke-kami-an dan ke-mereka-an.
Krisis ke-kita-an

Krisis ke-kita-an—dominasi ke-kami-an dan ke-mereka-an—itulah yang tengah melanda jiwa bangsa ini. Agenda-agenda penting lalu terbengkalai. Langkah Indonesia menjadi tak tentu arah. Sekadar bukti, korupsi sebagai musuh terbesar ”kita” begitu sulit diberantas. Saat lembaga tertentu—kepolisian, kejaksaan, kehakiman, parlemen, parpol, dan sejumlah kementerian—terendus sebagai sarang koruptor dan mafia peradilan, segera terbangun tembok-benteng ”kami” yang mengatasnamakan spirit-solidaritas korps.

Akibatnya, unsur-unsur lain bangsa ini tidak diperhitungkan karena ditempatkan sebagai ”mereka”. Spirit luhur sebagai satu bangsa tergusur oleh spirit korps ke-kami-an yang sempit-eksklusif. Solidaritas diganti solitaritas. Ke-kita-an Indonesia pun terkubur bersamaan dengan terbenamnya sebagian Sidoarjo oleh lumpur.
Menyelamatkan ke-kita-an

Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945 bukan sekadar peristiwa politik, melainkan juga peristiwa sosial-budaya. Momen heroik di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, itu, selain menandai kemerdekaan politis, pun merupakan maklumat tentang lahirnya sebuah ke-kita-an bernama negara-bangsa Indonesia.

Ke-kita-an Indonesia menawarkan sekaligus menuntut kesadaran bahwa negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah ruang publik (public sphere, Offentlichkeit). Ruang publik adalah sebuah ruang sosial yang terbentuk lewat komunikasi dan interaksi sosial.

Habermas maupun Hannah Arendt—dalam ulasan Budi Hardiman, ed. (Ruang Publik: Melacak ”Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, 2010)—mengaitkan ruang publik dengan aktivitas suatu komunitas bahasa (Sprachgemeinschaft) dan akal sehat (sensus communis) manusia.

Indonesia telah memenuhi syarat ruang publik. Pertama, adanya bahasa Indonesia yang memungkinkan warga berkomunikasi dan berinteraksi. Kedua, adanya keterbukaan sehingga seluruh warga bebas beropini melalui berbagai forum dan media. Namun, ada kurangnya, yakni akal sehat (baca: kesadaran) tentang ke-kita-an Indonesia.

Karena minim kesadaran, minim pula komunikasi dan interaksi sosial. Akibatnya, minim empati dan belarasa (compassion) sebagai sesama anak bangsa. Lalu, minim pula keterlibatan dan tindakan dalam menangani berbagai persoalan bersama.

Tengoklah kemacetan di Jakarta. Saat macet, sesungguhnya terbentuk ”forum” warga. Ada begitu banyak orang (terpaksa) berkumpul di jalanan. Namun, mereka tidak saling berkomunikasi. Masing-masing berdiam dalam zona nyamannya. Interaksi yang terjadi justru saling berebut celah, mencuri kesempatan dalam kesempitan. Mereka berubah menjadi kerumunan yang kehilangan kesadaran sebagai warga dan ke-kita-an.

Padahal, kesadaran akan melahirkan tindakan nyata untuk mengakhiri kemacetan. Misalnya, para pemilik perusahaan—yang turut pula menjadi korban kemacetan—berani memindahkan tempat usahanya ke tempat-tempat lain di Indonesia. Toh di mana pun—tanpa mengabaikan kalkulasi-kalkulasi ekonomis—sama-sama berada dalam ke-kita-an Indonesia.

Ilustrasi yang sama berlaku untuk kasus lumpur Lapindo, ledakan (tabung) gas, hingga pemberantasan korupsi dan mafia peradilan. Terjadi ”kemacetan”, tetapi pihak-pihak yang bertanggung jawab justru mendahulukan ke-aku-an atau ke-kami-an sambil mendesakkan ke-mereka-an untuk melibas ke-kita-an.

Hati semakin teriris. Dalam kemacetan, apa merek motor dan mobil yang berderet itu? Dalam mal-mal yang mengepung kemacetan, barang-barang yang terpajang buatan siapa? Bukankah terjadi kontestasi ke-mereka-an? Sudahkah kita merdeka sekarang?

Merayakan kemerdekaan Indonesia mestinya menyelamatkan ke-kita-an. Tanpa upaya itu, merayakan kemerdekaan Indonesia hanyalah merayakan ke-mereka-an.
Dirgahayu Indonesia. Sekali mer(d)eka tetap mer(d)eka?!

Penulis: PARI SUBAGYO/Harian Kompas (Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)

09 Agustus 2010

REDENOMINASI


Kata redenominasi telah menjadi suatu perbincangan yang hangat bagi masyarakat Indonesia sejak dilontarkan oleh Darmin Nasution pada akhir bulan Juli 2010. Meskipun bukan orang yang pertama menggulirkan wacana redenominasi rupiah di negeri ini, tetapi karena kini ia menjadi Gubernur Bank Indonesia terpilih, sehingga pernyataannya menjadi besar dampaknya. Masyarakat Indonesia menjadikan redenominasi ini sebagai bahan diskusi atau pembicaraan baik pada forum-forum resmi sampai di warung-warung kopi. Walaupun di Sulawesi Utara wacana redenominasi tersamar oleh dominannya pembicaraan akan Pilkada yang telah usai.

Dan saat ini redenominasi menjadi sebuah kata yang gampang dieja dan akrab di telinga. Bagi yang penasaran dan mencari pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka akan kecele karena tidak akan menemukan definisi atau contoh penggunaan kata redenominasi itu. Bagi yang paham berbahasa Inggris dan suka mencari informasi di dunia maya untuk berburu pengetahuan akan lebih beruntung. Karena akan banyak menemukan arti, makalah dan risalah seputar redenominasi.

Masyarakat sendiri tidak perlu panik dengan rencana Bank Indonesia (BI) untuk melakukan redenominasi rupiah. Oleh sebab itu hal pertama yang harus dipahami bahwa redenominasi itu bukan sanering. Sosialisasi akan hal ini harus terus dilakukan pemerintah sebab kemungkinan bisa terjadi, masyarakat menganggap redenominasi rupiah sama dengan sanering rupiah. Karena itu, tak perlu heran bila masyarakat langsung resah begitu rencana kebijakan redenominasi dilontarkan. Memang kebijakan tersebut berbeda 180 derajat dengan sanering. Namun, kata-kata pemotongan nilai uang itulah yang membuat masyarakat trauma. Ini Disebabkan karena masih teringat dan trauma dengan sanering rupiah pada zaman Orde Lama.

Redenominasi rupiah adalah pengurangan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukar rupiah. Misalnya rupiah di redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nolnya, maka artinya uang Rp 100.000,- kemudian ‘dipotong’/tercatat secara nominal menjadi Rp 100. Begitupula tabungan rupiah yang ada di bank akan bernilai tukar tetap walaupun ‘pencatatannya’ berubah. Misal tabungan sebanyak Rp 1.000.000 sebelum redenominasi rupiah kemudian hanya akan tercatat menjadi Rp 1.000. Tetapi untuk transaksi dan sebagainya uang bernilai Rp 1.000 (baru) memiliki nilai tukar sama dengan Rp 1.000.000 (sebelum redenominasi rupiah).

Sedangkan sanering rupiah adalah pemotongan nilai tukar rupiah.
Jika ada sanering rupiah Rp 100.000 menjadi Rp 100 artinya nilai tukar rupiah senyatanya memang hanya menjadi Rp 100. Jika tadinya tabungan di bank sebanyak Rp 1.000.000 maka dengan sanering rupiah sebanyak tiga nol, maka nilai tukar rupiah di tabungannya tinggal Rp 1.000. Dengan bahasa yang mudah dipahami adanya sanering akan berdampak pada ‘pemiskinan’ atau penurunan daya beli dan penurunan kekayaan masyarakat.

Adapun beberapa manfaat redenominasi rupiah di antaranya adalah (1) Pencatatan akan lebih efisien dan sederhana lantaran tidak menggunakan banyak pecahan; (2) Membantu menjaga tingkat inflasi rendah dan stabil; (3) Membantu menstabilkan nilai kurs; (4) Meringankan masyarakat dalam membawa uang untuk transaksi; (5) Memunculkan nilai satuan uang rupiah yang kecil, misalnya sen; (6) Dari aspek pengawasan pemerintah menjadi lebih praktis, karena jumlahnya lebih kecil; dan (6) Memberikan kebanggaan ‘semu’, karena seakan nilai tukar rupiah menguat.

Sedangkan beberapa kerugian redenominasi rupiah di antaranya adalah (1) Bisa mendorong terjadinya hyperinflation, karena ketidaksiapan kondisi ekonomi, sosial dan politik, psikologis dan pengetahuan masyarakat aturan, dan pelaksana; (2) Dapat dipolitisasi sehingga menjadi ajang dan subjek adu kekuatan dan tawar menawar dari partai politik. (3) Harus mengubah seluruh aturan, pencatatan, dan lainnya yang terkait dengan redenominasi rupiah yang akan menelan biaya, waktu dan tenaga yang besar; (4) Mengalihkan isu-isu penting lainnya yang lebih mendesak seperti penurunan tingkat pengangguran dan pembukaan kesempatan kerja; penanggulangan kemiskinan; peningkatan kesejahteraan masyarakat; pertumbuhan ekonomi, penegakan hukum, peningkatan daya saing, peningkatan tingkat kesehatan serta pendidikan yang murah dan merata.

Pelaksanaan redenominasi rupiah dimungkinkan akan berhasil bilamana setidaknya memenuhi syarat (1) Adanya kestabilan ekonomi, sosial dan politik; (2) Adanya kesiapan masyarakat; (3) Adanya tingkat inflasi yang rendah dan stabil selama beberapa tahun berturut-turut; (4) Adanya cadangan devisa negara yang cukup; (5) Adanya persetujuan DPR; dan (6) Adanya kedisiplinan masyarakat, pebisnis, perbankan, pemerintah dan bank sentral dalam melaksanakan redenominasi.

Oleh sebab itu redenominasi tidak bisa dilakukan seketika. Seperti yang diungkapkan Wakil Presiden Boediono, "Nanti kalau sudah ada hasil yang defenitif tentunya dibahas dengan pemerintah, dengan wacana publik dan sebagainya jadi memang redenominasi ini telah diberlakukan di berbagai negara, Turki dan sebagainya. Itu biar dipelajari tapi itu sekali lagi statusnya adalah studi. Dan kalau prosesnya nanti akan panjang, apapun hasil studi yang menjadi policy itu prosesnya panjang, jadi itulah posisi yang ingin saya sampaikan kepada saudara-saudara sekalian," jelasnya. Redenominasi masih butuh proses panjang. Untuk melaksanakannya perlu sosialisasi, menyiapkan pencetakan uang baru, penarikan uang lama, serta berbagai penyesuaian yang lain. Semua itu belum tentu bisa selesai dalam lima tahun.Sosialisasi adalah tugas yang terpenting. Sebab sebelum ini istilah redenominasi tidak pernah kita kenal. Negara tentu tak mau ambil risiko yang membuat publik menganggap redenominasi sebagai sanering.

Tentunya segala kebijakan pemerintah yang pada dasarnya untuk meningkatkan kesejahteraan, rasa aman dan nyaman dalam masyarakat tentunya patut kita dukung. Dan jika berhasil, setidaknya kebijakan itu membuktikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia benar-benar kuat.